Membangun Budaya mencegah

Manusia secara fitrah pasti menginginkan terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman dan nyaman. Aman dari berbagai gangguan yang mungkin terjadi dan nyaman terbebas dari stres emosional yang negatif. Kedua kebutuhan ini saling melengkapi dimana kebutuhan aman bersifat materi dan kebutuhan rasa nyaman bersifat imateri.

Begitu pentingnya kebutuhan tersebut sehingga membuat orang berusaha untuk bisa mencapainya. Bahkan disadari atau tidak banyak perilaku pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terganggunya rasa aman dan nyaman orang lain. Cara seperti ini merupakan perilaku egosentris yang menjadi muara munculnya berbagai perilaku destruktif lainnya.

Pemuasan hasrat kebutuhan diri yang tidak dikontrol menyebabkan rusaknya ekosistem dan tatanan kehidupan masyarakat. Bahkan berdampak pada masalah global. Banyak peristiwa yang terjadi lupa menjadi pelajaran, sehingga terus berulang terjadi, seperti bencana.

 

Bencana Musim

Setiap musim kemarau peristiwa kebakaran hutan sering terjadi. Dampaknya bukan hanya lokal tetapi juga menjadi masalah global. Masih belum lupa dari ingatan kita dimana pada tahun 2013 terjadi kebakaran hutan yang menjadi krisis kabut Asia Tenggara. Banyak negara lain yang terkena eimbasnya seperti Malaysia. Sekarang pun terulang lagi bencana kebakaran hutan. Kebakaran hutan ini berdampak sangat buruk  diantaranya bisa menyebabkan terjadinya penipisan lapisan ozon, peningkatan prevalensi penyakit respirasi, terganggunya ekosistem. Selain kebakaran hutan, pada musim kemarau juga terjadi bencana lain seperti kekeringan, meningkatknya risiko penyakit infeksi saluran pernapasan atas dan lainnya.

Pada musim penghujan pun tidak jauh beda dimana sering terjadi bencana seperti banjir. Banjir ibarat sebuah penyakit menular dimana bukan hanya daerah langganan banjir saja yang selalu mengalami bencana banjir tetapi juga merambat ke daerah lain yang sebelumnya tidak mengalami banjir. Hal ini tampak jelas ketika terjadi bencana banjir pada awal tahun 2014 yang lalu dimana banyak daerah sepanjang pantai utara yang direndam banjir.

Meluasnya bencana banjir disebabkan oleh banyak faktor. Banjir terjadi sebagai kelanjutan akibat kebakaran hutan atau semakin sedikitnya daerah resapan air. Pemukiman penduduk yang padat, pendangkalan aliran sungai dan penimbunan sampah ke sungai semakin memperbesar risiko bencana.

Selain banjir pada musim hujan pun terjadi bencana lain seperti tanah longsor terutama di daerah lereng. Bencana ini merupakan efek juga dari rusaknya lingkungan, selain karena kondisi geologi dan morfologi. Bencana longsor semakin besar risiko terjadinya dengan dipicu oleh curah hujan, dan penggundulan hutan atau perubahan tata lahan.

 

Kesadaran Mencegah

‘Bencana musiman’ tersebut sering terus berulang. Sepertinya tidak ada pembelajaran dari pengalaman. Orang bijak mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Namun, kata bijak ini disalahaplikasikan dengan semakin beragamnya pola merusak lingkungan. Padahal bencana tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar mulai dari rusaknya lingkungan, terganggunya roda pembangunan ekonomi, peningkatan jumlah penduduk miskin, terjangkitnya berbagai penyakit, bahkan menimbulkan banyak korban meninggal dan bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia dimana banyak anak-anak yang menjadi korban mulai dari terserang penyakit dan terganggunya proses belajar mengajar di sekolah.

Berakhirnya bencana membawa kedukaan yang mendalam bagi keluarga korban, bertambahnya beban kehidupan. Sehingga kebutuhan rasa aman dan nyaman menjadi sesuatu yang sangat sulit terwujud akibat perilaku oknum yang tidak bertanggung jawab banyak orang lain yang menjadi korban.

Bencana bukan hanya murni terjadi karena faktor alam tetapi faktor manusia pun bisa menjadi penyebab bencana. Ini mengindikasikan bahwa bencana dapat dicegah atau diminimalisir risiko bencananya. Hal yang penting adalah dengan merubah perilaku destruktif menjadi perilaku konstruktif.

Perilaku yang baik membawa kemaslahatan untuk banyak orang. Berkenaan dengan bencana, maka perilaku mencegah jauh lebih baik dan efektif. Selain itu, modal yang dikeluarkan dalam pencegah lebih efisien dibandingkan dengan pemulihan pasca bencana. Oleh karenanya sangatlah tepat ungkapan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.

Namun, melihat fakta dimana bencana selalu berulang terjadi dan semakin meluas bisa mengindikasikan kemungkinan masih minimnya kesadaran untuk berperilaku mencegah. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku baik faktor internal maupun eksternal dari seseorang. Terlepas dari rincian faktor tersebut, faktor diri manusia merupakan core-nya.

Dalam rumusan bencana, risiko bencana akan lebih kecil bila kapasitas untuk mencegah lebih besar dibandingkan dengan ancaman dan kerentanan bencana. Rumusan ini sekali lagi mengindikasikan pentingnya pencegahan. Tentunya untuk bisa berperilaku mencegah terlebih dahulu dibangunkan ‘kesadarannya’. Artinya harus dilakukan upaya penyadaran dan kepedulian terhadap bencana.

Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan 1). Peningkatan kompetensi personal untuk mencegah yang didasari dengan kognitif, afektif dan psikomotor kebencanaan yang baik; 2). Penguatan social support dengan peran serta aktif masyarakat; dan 3). Penguatan faktor pendukung lainnya seperti sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana. Upaya-upaya tersebut mesti terus dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai unsur.

Perilaku pencegahan bencana harus menjadi bagian dari kepribadian diri karena secara fitrah manusia menginginkan hidup yang damai. Bila tiap individu dan keluarga sudah menyadari pentingnya pencegahan, maka dengan sendirinya perilaku masyarakatpun demikian. Sehingga terbentuklah budaya pencegahan dan kejadian bencana pun dapat dicegah atau diminimalisir dampaknya. Wallahua’lam.

 

*) Tulisan Opini ini telah diterbitkan di Harian Umum KABAR CIREBON, Senin 13 Oktober 2014 Nomor 1351 Tahun III